Sutie Rahyono – Praktisi dan Trainer Kewirausahaan
Sebut saja Namanya pak Fauzan, pedagang mie ayam di bogor. Sebelum mangkal di sewaan sisi sebuah rumah di jLn Tentara pelajar, selama 4 tahun sebagai pedagang keliling dengan gerobak dorongnya. Mie ayamnya enak di lidah penulis, sayang dia berdagang keliling, susah besar, akhirnya penulis sarankan untuk mangkal saja disuatu tempat, agar jika ada orang yang mencari untuk membeli lagi, mudah menemukannya. Gerobaknya penulis sarankan diberi nama agar membedakan dengan gerobak mie ayam lainnya, akhirnya diberi nama “Mie Fauzan”, disamakan dengan namanya sendiri, sebuah nama yang cukup bagus untuk dunia bisnis “beruntung”.
Benar adanya, akhirnya mie ayamnya dikenal dan berhasil menggaet pelanggan tetap dan terus bertambah, hingga bisa menjual 80 hingga 120 porsi setiap harinya, dengan kisaran omset penjualan 400.000 - 800.000 rupiah.
Kurang lebih empat bulan yang lalu (dari tulisan ini ditulis), penulis perhatikan, sehari jualan 2 hari libur, atau dua hari jualan sehari libur. Penulis rasa ada yang salah dengan usahanya. Setelah penulis tanyakan, memang benar, ekonomi rumah tangganya sedang kocar-kacir, sejak orangtuanya divonis mengidap kanker, uang usahanya praktis habis untuk membaiayai. Tidak tanggung-tanggung dia saat itu terjerat hutang 3 bank, 5 perorangan dan 14 orang rentenir, dengan cicilan harian yang harus disediakan untuk rentenir saja, sebesar Rp. 435.000,- per hari, dan untuk cicilan bulanan bank, Rp.1.850.000,-. Dengan kinerja usaha seperti di atas, sangat berat dan susah untuk menyelesaikan hutang-hutangnya. Kalau diteruskan dengan cara yang saat itu dijalankan, pasti hanya akan menambah hutang, karena upaya yang dilakukan hanya dengan “gali lubang tutup lubang”, berhutang hanya untuk menutup hutang lainnya. Akhirnya julukan “tukang hutang” mulai melekat dari lingkunganya dan mempersempit ruang gerak menghutangnya.
Kondisi pak Fauzan lengkap dengan kinerja usaha dan reputasinya, coba penulis utarakan ke beberapa bank dan perusahaan yang memiliki program CSR (corporate Social Responsibility) atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) perusahaan BUMN., Jawabnya sama, tidak bisa mengabulkan walaupun dengan dana hibah sekalipun, apalagi dana komersiilnya.
Langkah terakhir yang harus ditempuh, tinggal melawan rentenir, tetapi mendorong keberanian "Melawan Rentenir" memang tidak gampang, mengingat pengalamannya selama ini yang pernah diterima dari para rentenir, apabila menungak pembayaran cicilan.
Memompa semangat melawan, dimulai dari mengingatkan, bahwa pintu surga tak akan terbuka jika masih meninggalkan hutang di dunia. Untuk bisa melunasi hutang-hutangnya, satu-satunya cara adalah dengan memperbesar omset, meningkatkan volume penjualan, baik dengan menambah jam jualan sampai Jam 9 malam dan/atau menambah outlet, harus dilakukan.
Modal untuk memperbesar usahanya berasal dari uang yang seharusnya untuk angsuran ke rentenir dan bank, kita 'membandel" untuk menunda pembayaran cicilan. Uang yang seharusnya untuk mencicil hutang, dikumpulkan untuk memperbesar usaha, agar pendapatan dan keuntungan usaha bertambah, baru hasil dari pembesaran ini, nantinya digunakan untuk melanjutkan membayar dan melunasi semua hutangnya .Cara lain yang juga harus dikerjakan secara bersamaan adalah mengendalikan konsumsi rumah tangganya.
Rencanapun mulai dijalankan, bentakan-bentakan mulai didapat. Kemarahan dan teror dari para pemberi hutang setiap hari didengarnya, dan setiap hari menjadi tontonan tetangga, hampir tak tahan. Gerobak ditarik oleh petugas bank, penulis dampingi untuk melawan, kami jelaskan, minta ditunda agar usaha bisa membesar, baru melanjutkan cicilan, kalau gerobak ditahan, tak bisa menghasilkan lagi, semakin tidak mampu membayar. Gerobakpun dikembalikan. Preman datang dari rentenir, ancaman demi ancaman, intimidasi setiap hari silih berganti, lari ke RT/RW dan polisi minta didampingi, minta perlindungan.
Cobaan belum berakhir, tempat berjualan tak diperpanjang sewanya, dengan alasan tempatnya tak mau dipakai tempat marah-marah para preman, takut keluarganya ikut kena getahnya.
Tidak jauh dari tempat berjualan yang lama, mendapat tempat dengan sistem bagi hasil, cukup membantu karena tidak harus membayar uang sewa di muka, tetapi harus menanggung turunnya omset karena kepindahan. Tidak mengapa, paling sesaat, beruntung gerobaknya sudah diberi nama, sehingga semua pelanggan mengenalnya.
Pengumpulan uang hasil “membandel” tidak membayar cicilan, digunakan untuk membuka outlet baru di rumah kontrakannya. Tidak strategis memang, berapapun omsetnya untuk menambah penghasilan.
Datang tawaran dari sebuah bank untuk menyalurkan dana KUR asal dengan jaminan dari penulis. Pinjaman baru memang bisa untuk menutup semua pinjaman rentenir yang harus membayar harian, dan bisa berganti dengan cicilan bulanan dengan bunga jauh lebih rendah. Dana KUR memang bisa melunasi hutang ke rentenir, namun bisa juga menyurutkan semangat membesarkan usaha. Utang ke rentenir memang lunas, tetapi usaha tetap sebesar sebelumnya. Atas dasar pemikiran tersebut, tawaran KUR ditolak.
Selang dua minggu dari outlet kedua, buka lagi outlet baru, lagi-lagi dengan pengumpulan uang hasil “membandel”. Setelah 3 outlet dibuka, baru mulai mencicil hutang lagi.
Hari ini saat tulisan ini dibuat, cicilan hutang semua rentenir telah lunas, tinggal cicilan bank. Hari ini pula outlet ke 4 dibuka, dengan omset perdana Rp. 70.000,-.
Produk enak dan bermutu, berani dan pantang menyerah, pelayanan prima penuh kesantunan serta dijalankan dengan kecermatan dan hemat bisa menjadi kendaraan untuk maju, bukan modal uang.
Selamat berjuang pak Fauzan. Anda guru bagi kita semua.