selamat datang

Ya TUHAN, Penguasa seluruh alam, Yang Maha Perkasa, Maha Kaya, Maha Bijaksana, Maha Adil, dan segala MAHA hanya milikMU, ampunkan diri kami yang sering berlaku sombong, yang sok pinter, sok tahu, sok berpengalaman dan sok-sok-an lainnya. Dengan Maha Kasih dan Maha SayangMU, kami mohon petunjuk, mohon bimbingan, dalam menjalankan tugas untuk ikut memakmurkan bumi ini, lindungilah kami dari segala godaan yang menyesatkan, hingga sering menjauh dari tugas mulia yang telah ENGKAU perintahkan. Berilah kekuatan untuk melawan kezaliman hati kami. Jauhkanlah kami dari rasa takut menderita, takut kekurangan, dan ketakutan lain yang membuat diantara kami saling membiarkan, saling menelantarkan, dan hanya mementingkan diri kami sendiri. Dengan IzinMu, kami berkumpul, bersilaturahmi di wahana ini, untuk saling mengingatkan, saling berbagi, saling membimbing diantara kami. Hindarkanlah kami dari kegemaran saling mengolok-olok, tuntunlah kami dalam kesantunan, dan kerendahan hati. Hindarkanlah diantara kami dari rasa paling benar, karena memang hanya kebenaranMu-lah yang paling hakiki.

Sabtu, 26 Februari 2011

Antara SAPI, ANJING, MONYET dan MANUSIA

Ada sebuah cerita dari daratan Tiongkok, konon sebelum Tuhan menciptakan manusia, terlebih dahulu diciptakanlah Sapi, Anjing dan monyet, baru setelah ketiganya, diciptakanlah manusia.     Sesaat setelah Tuhan menciptakan sapi, Tuhan mengatakan kepada makhluk ini, “Ah Ngau (sapi) , tugasmu  nanti menemani petani bekerja di ladang sepanjang hari, dibawah terik matahari.  kamu akan dibekali dengan tenaga yang kuat sehingga mampu menarik beban berat, kamu juga harus menyediakan susu untuk diminum manusia.  Sebagai imbalannya kamu akan diberi makan rumput.  Dan untuk tugas itu, kamu Aku  beri usia kehidupan selama 50 tahun.

Ah Ngau mengajukan keberatan. “masak aku harus bekerjakeras sepanjang hari di bawah terik matahari, masih harus memberi susu , berat sekali tugas ku.  Lagi pula untuk tugas berat itu Tuhan menghendaki  aku harus hidup 50 tahun.  Aku hanya sanggup 20 tahun saja, dan aku kembalikan 30 tahun sisanya.

Tuhan setuju.

Hari berikutnya Tuhan menciptakan Anjing. “ Ah Kow (anjing), aku menciptakanmu dengan maksud, engkau harus duduk sepanjang hari di depan pintu rumah majikanmu.  Kalau ada orang asing mendekat, kamu harus menggonggong.  Sebagai imbalannya, kamu akan mendapatkan makanan sisa majikanmu. Dan kamu akan diberi umur kehidupan selama 20 tahun.

Ah Kow-pun mengajukan keberatan. Masak saya harus duduk sepanjang hari dan harus menggonggong ke orang asing, selama 20 tahun hanya mendapatkan sisa makanan? Saya hanya sanggup 10 tahun saja Tuhan, 10 tahun sisanya saya kembalikan.

Tuhan setuju.

Hari berikutnya Tuhan menciptakan Monyet.  Sesaat setelah menciptakan monyet Tuhan memberi tahu kepada si monyet "Mah lau (monyet), tugasmu menghibur manusia.  Kamu harus menampilkan wajah lucu dan bertingkah tolol sehingga membuat manusai tertawa.  Kamu akan dibekali kemampuan salto, dan berayun. Sebagai imbalannya, kamu akan diberi pisang dan kacang kegemaranmu.  Untuk itu Aku akan memberimu usia 20 tahun.

Bisa di duga sang monyetpun mengajukan keberatan.  “Ini menggelikan, masak harus 20 tahun hanya untuk  menghibur manusia, salto dan berayun-ayun,  lagi pula hanya mendapat pisang dan kacang. Ya Tuhan,  saya ambil 10 tahun saja, 10 tahun sisanya saya kembalikan

Tuhan setuju lagi.

Hari berikutnya Tuhan menciptakan manusia, dan mengatakan kepada manusia “kamu hasil karyaku yang terbaik, karenanya kamu tinggal tidur, makan, bermain, tidur lagi. Kamu boleh makan segala makanan terbaik, dan bermain dengan mainan terbaik.  Untuk itu Aku beri kamu umur 20 tahun untuk kehidupanmu.

Persis seperti ciptaan lainnya, manusiapun mengajukan keberatan. Ya Tuhan, masak tinggal santai, makan dan bersenang-senang hanya mendapat jatah hidup 20 tahun.  Begini saja Tuhan, 30 tahun jatah umur yang dikembalikan Ah Ngau, 10 tahun dari Ah Kow, dan 10 tahun lagi dari Mah lau, dari pada tak terpakai untuk saya semua saja, sehingga saya mempunyai jatah hidup 20 + 30 + 10 + 10, jadi jatah hidupku 70 tahun.

Karena sifat Tuhan selalu baik, Tuhan setuju, sambil tersenyum. jadilah seperti sekarang ini......

Manusia makan, tidur dan bersenang-senang sampai umur 20 tahun jatah asli kehidupan pertamanya. Selanjutnya bekerja keras  selama 30 tahun, bagai sapi, lalu duduk di depan pintu dan kerjanya marah-marah selama sepuluh tahun, setelah pensiun.  Dan 10 tahun berikutnya kita dipaksa menampilkan wajah lucu dan melakukan ulah menarik untuk menyenangkan dan menghibur sang cucu.

Benarkah hidup kita hanya demikian kawan? ………Tanpa makna yang lain? …… hanya kita yang tahu dan hanya kita yang memaknai hidup kita………. Selamat memaknai hidup kawan.

sumber Ide: character

Jumat, 25 Februari 2011

Penderitaan di kapal oleng

Siapa yang tak kenal Abunawas.  Seorang sufi, cendekiawan, penyair ulung dan humoris, dan terkadang konyol.  Dia lahir di Azhwa, sebuah desa di Kazakhstan, sebelah barat persia dan meninggal di bagdad tahun 814 M.  Semasa hidupnya merantau untuk belajar berbagai macam ilmu, dan akhirnya menjadi penasehat kerajaan di kesultanan yang dipimpin Harun Ar Rasyid.

Salah satu cerita yang bisa kita simak adalah saat Abu Nawas harus mendampingi sang Sultan yang mengunjungi daerah-daerah yang dipimpinnya.  Pendek kata di dalam perjalanannya sang sultan beserta rombongannya harus menyeberang sungai yang sedang banjir.

Air deras dan gelombang yang ditimbulkannya menggoyang perahu yang digunakan oleh sang Sultan, sehingga jalannya oleng.  Karena ketakutan sang Sultan memegang tangan Abunawas sambil berteriak-teriak minta tolong kepada Abunawas. “Engkau kan cerdik dan panjang akal hai Abu Nawas, cepat tolong aku dan cari akal agar aku tidak takut, aku tidak bisa berenang” teriakan terus menerus membuat Abu Nawas merasa iba.

“Saya bisa menolong ketakutan paduka, tapi saya rasa cara saya ini tidak disenangi paduka” kata Abu Nawas ragu-ragu.  “kerjakan saja, yang penting aku tidak ketakutan lagi”  teriak sang Sultan.  “Cepat Abu Nawas, kerjakan, ini perintahku” teriak sang sultan bertambah keras.  Akhirnya Abu Nawas Mendorong tubuh sang Sultan hingga tercebur ke sungai.  Tentu saja sang Sultan yang tidak bisa berenang panik, timbul tenggelam di sungai yang deras aliran airnya.

Abu Nawas dengan tenang melemparkan tali ke sang Sultan, “tangkap tali ini Sultan” teriak Abu Nawas. Setelah Sultan berhasil menangkap talinya, Abu Nawas menarik talinya dan mengangkat sang Sultan naik ke perahu lagi.


“Kenapa engkau mendorongku hingga aku jatuh masuk kedalam sungai? Teriak sang Sultan dengan kemarahan yang memuncak .  Lagi-lagi dengan tenang Abu Nawas menjawab” saya mematuhi dan menjalankan perintah paduka yang mulia”, “Perintah yang mana hai Abu Nawas? hardik Sang Sultan.  “Perintah untuk menolong baginda dari rasa takut baginda di perahu yang oleng ini baginda” jawab Abu Nawas.  “Lalu kenapa dengan cara mendorong dan menceburkanku ke sungai” jawab Sultan masih dengan nada marah.  “Sekarang bisa paduka rasakan, lebih takut ketika berada di dalam  sungai tadi atau lebih takut di perahu oleng ini? Tanya Abu Nawas dengan nada datar.  “Lebih nyaman di perahu oleng ini Abu Nawas” jawab sang Sultan sambil menunduk, seraya melanjutkan kalimatnya “Benar kau Abu Nawas, kita sering merasa paling menderita kalau sedang mendapat cobaan, walaupun cobaan itu baru kecil saja, kita sering lupa ada cobaan lain yang lebih besar, yang menimpa saudara-saudara kita.


Diadabtasi dari cerita Abu Nawas

Ketegaran dalam kesedihan sang penjual salak

Pada suatu saat, Istana Bogor hendak kedatangan tamu terhormat, tamu kenegaraan.  Biasanya di hari-hari biasa banyak pedagang di sepanjang pagar, baik jualan kangkung dan wortel untuk pengunjung yang ingin memberi makan rusa yang hidup lepas di halaman Istana.

Biasanya pula, jika hendak menerima tamu kehormatan, pedagang dilarang berjualan di sepanjang pagar Istana.  Namun pada hari  larangan itu, muncullah pedagang duku yang menjajakan dagangannya.  "Ku…. Duku.  Ku…. Duku", teriaknya sambil menyusuri pagar istana.  Melihat ada penjual duku yang melanggar aturan, sang petugas Istana dengan sigap memanggil sang penjual duku, sembari menghardik memarahinya.  “tahukah hari ini ada larangan jualan disepanjangn pagar?” agar penjual lain tidak ikut-ikutan maka penjual duku diberi hukuman.  Hukumannya si penjual duku diminta nungging sambil membuka celanya. Diambilnya sebutir barang dagangannya (duku) dan dimasukkan ke anus si penjual.  Tentu saja penjual teriak-teriak kesakitan. Setelah menerima hukuman akhirnya pedagang duku dilepas dengan peringatan, tidak boleh berjualan lagi di sepanjang pagar.

Selang beberapa saat muncul lagi penjual lain, pedagang salak.  Sambil memikul salak dagangannya si penjual berteriak menjajakan dagangannya.  "Lak….salaaak, salak…..salak".  Mendengar teriakan pedagang salak, sang petugas yang penuh disiplin menjalankan tugasnya, bergerak sigap memanggil dan menggiring pedagang ke pos penjagaan lagi.  "Tadi sudah ada pedagang duku yang melanggar aturan larangan berjualan disepanjang pagar ini,  dan harus menerima hukuman" kata sang petugas.  "Seperti pedagang duku, agar jera, kamu juga harus dihukum seperti pedagang duku.  Nungging dan buka celanamu" perintahnya tegas.  Diambilah sebuah salak dan dimasukkanlah ke  anus si pedagang.  Buah duku yang kecil saja sudah membuat teriakan yang memekakkan telinga, tetapi kenapa pedagang salak malah tertawa terbahak, seakan tidak merasa kesakitan.  Petugaspun mundur selangkah, merasa keder juga, jangan-jangan si penjual salak adalah orang yang sakti, pikirnya, tanpa merasa sakit pada saat anusnya dimasuki buah salak.  Dengan perlahan dan sopan sang petugas bertanya kepada si penjual salak, "bapak orang sakti ya?, bapak berguru dimana?".  " Bukan", jawab pedagang salak, "bukannya saya sakti.......lihat di belakang itu…… ada penjual duren".  Membayangkan betapa sakitnya jika penjual duren mendapatkan hukuman, seperti dirinya. Menjadikan sakitnya tak terasakan lagi.

Cerita ini hanya untuk memberikan semangat bagi mereka yang terlalu dalam meratapi kegagalannya.  Kalau kita hanya merasakan kegagalan kita, memang sakit, sedih dan kecewa.  Tetapi sering-seringlah kita melihat kegagalan, kesedihan dan kekecewaan orang lain yang jauh lebih berat.  Mudah-mudahan, kekecewaan dan kesedihan kita menjadi tak terasa lagi. Dan kita cepat bangkit menyongsong keberhasilan-keberhasilan lainnya.

Tidak gampang memang, untuk mengatasi kekecewaan hati.  Orang yang terlalu terbenam dalam kekecewaan adalah orang yang tidak bisa hidup di alam kenyataan.  Manusia  kecewa, sedih, patah hati dikarenakan apa yang dinginkannya tidak sejalan dengan kenyataan.  Sebaliknya akan bahagia jika apa yang dinginkan, apa yang diharapkan sesuai dengan kenyataan.  Jadi apa yang diinginkan dan apa yang diharapkan manusia   bukanlah kenyataan, tapi baru angan-angan manusia, baru khayalan kita.  Oleh sebab itu orang yang tenggelam terlalu dalam di dalam kekecewaannya, apalagi sampai patah hati, patah semangat, adalah orang yang hidup di alam angan-angannya, di alam khayalannya.  Sedang hidup yang kita hadapi adalah kenyataan ini.  Kalau kenyataannya belum sesuai dengan harapannya, mari kita sadari tidak hanyut di dalam angan-angan, tidak larut di alam khayalan.  Kita harus tetap hidup di alam kenyataan.  Hidup di alam kenyataan harus dengan semangat, harus dengan kerja keras, harus berkeringat.  "Bahwa di dalam kesulitan itu ada kemudahan".

Wonokairun

Ada banyolan Suroboyo, yang cukup menarik untuk kita simak.
Ceritanya begini, kakek Wonokairun datang ke warung kelontong (Mrancangan) milik bu Nyali, tetangganya.
“ Mau beli apa kek?” tanya bu Nyali dengan ramah.
“mau beli sabun Colek” jawab kakek Wonokirun.
“Ada nih,…….. memangnya sekarang nyuci sendiri ya kek? Tanya bu nyali, tetap dengan gaya ramahnya.
“Enggak sih,…….. mau buat nyuci kucing” Jawab Wonokairun santai.
“Hah……..Nyuci kucing? …….apa ngga mati kek? Bu Nyali kaget
“ Enggak,…….., habis banyak kutunya” kata Wonokairun
“Banyak kutu?, ……kan ada obat kutu kek". Bu Nyali menawarkan dagangan yang pas untuk kebutuhan kakek Wonokairun
“ Enggak usah, ini saja, temanku juga nggak apa-apa pakai sabun colek” Jawab Wonokairun yakin.
“Oh ya sudah......, ini sabunnya kek ” kata bu Nyali sambil menyerahkan  sabun dan menerima uang pembayaran.

Esok paginya Kakek Wonokairun datang  lagi ke warung bu Nyali. Kali ini mau beli kopi.
Dengan gaya sok akrabnya, bu Nyali bertanya ke kakek Wonokirun ” Gimana kucingnya kemarin kek ?’
“Matek …….” jawab kakek Wonokairun tanpa ekspresi penyesalan.
‘Mati !.......Tuh, benar kan ?.  Kemarin saya kan sudah bilang kek, kucing kok dicuci dengan sabun colek, padahal ada obat kutu” kata bu Nyali merasa benar
 “jangan sok tahu….., matinya itu bukan karena sabun colek” kata Wonokairun tak mau disalahkan .
“ memang matinya kenapa kek? Tanya bu Nyali penasaran
“Saya peres . . “jawab Wono kairun santai sambil ngeloyor bawa kopi
“diperas?............bu Nyali bengong…….”Kucing kok diperas”

Cerita di atas mengingatkan kepada kita, kalau mau bisnis, kalau mau buka usaha, jangan suka ikut-ikutan, kalau di suatu tempat  kita melihat suatu usaha maju, ramai, lalu pulang membuka usaha persis seperti yang dilihatnya.  Ingat Wonokairun, mati ujungnya.

Wonokairun ini , setiap pagi memperhatikan istrinya mencuci pakaian sambil minum kopi.  Setiap akhir pekerjaan mencucinya, selalu diakhiri dengan memeras. Makanya saat mencuci kucing, diakhiri pula dengan memerasnya. ya ...Matek.


sumber : kiriman pak Jati yang di alih bahasa

MELAWAN RENTENIR

Sutie Rahyono – Praktisi dan Trainer Kewirausahaan

Sebut saja Namanya pak Fauzan, pedagang mie ayam di bogor.  Sebelum mangkal di sewaan sisi sebuah rumah di jLn Tentara pelajar, selama 4 tahun sebagai pedagang keliling dengan gerobak dorongnya.  Mie ayamnya enak di lidah penulis, sayang dia berdagang keliling, susah besar, akhirnya penulis sarankan untuk mangkal saja disuatu tempat, agar jika ada orang yang mencari untuk membeli lagi, mudah menemukannya.  Gerobaknya penulis  sarankan diberi nama agar membedakan dengan gerobak mie ayam lainnya, akhirnya diberi nama “Mie Fauzan”, disamakan dengan namanya sendiri, sebuah nama yang cukup bagus untuk dunia bisnis “beruntung”.

Benar adanya, akhirnya mie ayamnya dikenal dan berhasil menggaet pelanggan tetap dan terus bertambah, hingga bisa menjual 80 hingga 120 porsi setiap harinya, dengan kisaran omset penjualan 400.000  - 800.000 rupiah.

Kurang lebih empat bulan yang lalu (dari tulisan ini ditulis), penulis perhatikan, sehari jualan 2 hari libur, atau dua hari jualan sehari libur. Penulis rasa ada yang salah dengan usahanya.  Setelah penulis tanyakan, memang benar, ekonomi rumah tangganya sedang kocar-kacir, sejak orangtuanya divonis mengidap kanker, uang usahanya praktis habis untuk membaiayai.  Tidak tanggung-tanggung dia saat itu terjerat hutang 3 bank, 5 perorangan dan 14 orang rentenir, dengan cicilan harian yang harus disediakan untuk rentenir saja, sebesar Rp. 435.000,- per hari, dan untuk cicilan bulanan bank, Rp.1.850.000,-.   Dengan kinerja usaha seperti di atas,  sangat berat dan susah untuk menyelesaikan hutang-hutangnya.  Kalau diteruskan dengan cara yang saat itu dijalankan, pasti   hanya akan menambah hutang, karena upaya yang dilakukan hanya dengan “gali lubang tutup  lubang”,  berhutang hanya untuk menutup hutang lainnya.  Akhirnya julukan “tukang hutang” mulai melekat dari lingkunganya dan mempersempit ruang  gerak menghutangnya.

Kondisi pak Fauzan lengkap dengan kinerja usaha dan reputasinya, coba penulis utarakan ke beberapa bank dan perusahaan yang memiliki program CSR (corporate Social Responsibility) atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) perusahaan BUMN.,  Jawabnya sama, tidak bisa mengabulkan  walaupun dengan dana hibah sekalipun, apalagi dana komersiilnya.

Langkah terakhir yang harus ditempuh, tinggal melawan rentenir, tetapi mendorong keberanian "Melawan Rentenir" memang tidak gampang, mengingat pengalamannya selama ini yang pernah diterima dari para rentenir, apabila menungak pembayaran cicilan.

Memompa semangat melawan, dimulai dari mengingatkan, bahwa pintu surga tak akan terbuka jika masih meninggalkan hutang di dunia.  Untuk bisa melunasi hutang-hutangnya, satu-satunya cara adalah dengan memperbesar omset, meningkatkan volume penjualan, baik dengan  menambah jam jualan sampai Jam 9 malam dan/atau  menambah outlet, harus dilakukan.  

Modal untuk memperbesar usahanya  berasal dari uang yang seharusnya untuk angsuran ke rentenir dan bank, kita 'membandel" untuk menunda pembayaran cicilan. Uang yang seharusnya untuk mencicil hutang,   dikumpulkan untuk memperbesar usaha, agar pendapatan dan keuntungan usaha bertambah, baru hasil dari pembesaran ini,  nantinya digunakan untuk  melanjutkan membayar dan melunasi semua hutangnya .Cara lain yang juga harus dikerjakan secara bersamaan adalah mengendalikan konsumsi rumah tangganya.

Rencanapun mulai dijalankan, bentakan-bentakan mulai didapat.  Kemarahan dan  teror dari para pemberi hutang setiap hari didengarnya, dan setiap hari menjadi tontonan tetangga, hampir tak tahan.  Gerobak ditarik oleh petugas bank, penulis dampingi untuk melawan,  kami jelaskan, minta ditunda agar usaha bisa membesar, baru melanjutkan cicilan, kalau gerobak ditahan, tak bisa menghasilkan lagi, semakin tidak mampu membayar. Gerobakpun dikembalikan.  Preman datang dari rentenir, ancaman demi ancaman, intimidasi setiap hari silih berganti, lari ke RT/RW dan polisi  minta didampingi, minta perlindungan.  

Cobaan belum berakhir, tempat berjualan tak diperpanjang sewanya, dengan alasan tempatnya tak mau dipakai tempat marah-marah para preman, takut keluarganya  ikut kena getahnya.

Tidak jauh dari tempat berjualan yang lama, mendapat tempat dengan sistem bagi hasil, cukup membantu karena tidak harus membayar uang sewa di muka, tetapi harus menanggung turunnya omset karena kepindahan.  Tidak mengapa, paling sesaat, beruntung gerobaknya sudah diberi nama, sehingga semua pelanggan mengenalnya.   

Pengumpulan uang hasil “membandel” tidak membayar cicilan, digunakan untuk membuka outlet baru di rumah kontrakannya. Tidak strategis memang, berapapun omsetnya untuk menambah penghasilan.

Datang tawaran dari sebuah bank untuk menyalurkan dana KUR asal dengan jaminan dari penulis.  Pinjaman baru memang bisa untuk menutup semua pinjaman rentenir yang harus membayar harian, dan bisa berganti dengan cicilan bulanan dengan bunga jauh lebih rendah.  Dana KUR memang bisa melunasi hutang ke rentenir, namun bisa juga menyurutkan semangat membesarkan usaha. Utang ke rentenir memang lunas, tetapi usaha tetap sebesar sebelumnya.  Atas dasar pemikiran tersebut, tawaran KUR ditolak.

Selang dua minggu dari outlet kedua, buka lagi outlet baru, lagi-lagi dengan pengumpulan uang hasil “membandel”.  Setelah 3 outlet dibuka, baru mulai mencicil hutang lagi. 

Hari ini saat tulisan ini dibuat, cicilan hutang semua rentenir telah lunas, tinggal cicilan bank.  Hari ini pula outlet ke 4 dibuka, dengan omset perdana Rp. 70.000,-.

Produk enak dan bermutu, berani dan pantang menyerah, pelayanan prima penuh kesantunan serta dijalankan dengan kecermatan dan hemat  bisa menjadi kendaraan untuk maju, bukan modal uang.

Selamat berjuang pak Fauzan.  Anda guru bagi kita semua.

Minggu, 20 Februari 2011

UANG TIPS bisa membunuh bisnis

Sutie Rahyono – Praktisi dan Trainer Kewirausahaan

Apa sih susahnya mengelola bisnis pencucian mobil? Bisnis yang tidak memerlukan ketrampilan tinggi ini.  Tetapi kenapa saya mengalami kebangkrutan? Apa yang salah dalam mengelola bisnis saya ini? Apakah saya tidak berbakat bisnis?  Demikian pertanyaan penuh semangat dari peserta pelatihan kewirausahaan yang pernah penulis  dampingi.

Sebenarnya memang tidak ada bisnis yang gampang, yang sering adalah orang menggampangkan.  Semua ada ilmunya, jika sudah memiliki ilmunya tentu yang sulit, agak lebih gampang menanganinya.  Tapi kalau sudah menggampangkan biasanya cenderung teledor.

Pada saat ditanyakan "apakah karyawannya merasa betah bekerja di tempat bapak? Dengan bangganya beliau menjawab ”betah dan sangat betah pak, karena saya memperlakukan mereka seperti keluarga sendiri, apa yang saya makan mereka juga ikut makan”.  Bagaimana dengan sistem penggajian dan bonus?.   Katanya di dalam usaha cuci mobil tidak biasa memberlakukan sistem gaji, tetapi sistem bagi hasil.

Pertanyaan selanjutnya saya ajukan ke “yang mengaku” mantan pebisnis pencucian mobil tersebut, “Sekarang ini dan sebelum memiliki bisnis pencucian mobil,  kalau bapak mencuci mobil kemana?    “ke tempat cucian langganan saya” jawabnya.  “pada saat bapak mencucikan  mobil bapak, apakah bapak  biasa memberi uang Tips ke karyawan yang mencuci mobil bapak?betul, saya biasa memberinya” katanya.  “Dengan tujuan apa bapak memberi uang Tips, toh sudah tercantum harga/biaya cuci mobil”.  “Yah, agar benar kerjanya, sambil sedekahlah ke (maaf) orang kecilPada saat usaha pencucian mobil bapak masih ada, pernahkah bapak memperhatikan uang tips dari para tamu seperti bapak?oh tidak, itu hak mereka saya tidak mau ikut campur, itu rejeki mereka”.

Banyak sekali kita tidak menyadari uang Tips ini bisa membunuh bisnis kita.   Karena jiwa sosial yang kita miliki, kita enggan mengaturnya, biar mereka mengaturnya sendiri.

Seperti bapak di atas, kita sering enggan mengakui bahwa, uang tips tersebut diberikan dengan harapan agar kerjanya benar, agar memuaskan sang pemberi tips.  Pemberi tips tidak sadar, bahwa untuk memuaskan sang pemberi tips tersebut, apalagi uang tipsnya sudah dikenal besar oleh karyawan (pemilik usaha biasanya tidak hafal bahkan tidak tahu), maka karyawan yang melayani akan melayani dengan habis-habisan tanpa mempedulikan sistem dan standar kerja (inipun kalau sistem dan standar kerja sudah disusun).  Waktu biasanya lebih lama, bahan yang diberikan biasanya akan lebih banyak dari mereka yang hanya memberi uang tips kecil, apalagi untuk si Pelit (julukan para karyawan untuk tamu yang tidak pernah memberikan uang tips). Alhasil yang seharusnya sehari bisa melayani 10 mobil persatuan luasan lahan usaha, kini hanya bisa melayani jauh di bawah standar.  Akhirnya pelanggan malas datang karena antrinya lama, hanya mereka yang “puas” karena uang tips-nya, yang masih setia datang.  Disinilah bisnis, karyawannya sejahtera, tetapi bisnisnya sendiri bangkrut karena pendapatannya tidak mencukupi untuk operasionalnya.

Tidak sedikit bisnis yang mengalami nasib seperti di atas.  Bisnis di bidang jasa, biasanya memiliki titik kritis seperti ini, rentan karyawan dikendalikan oleh pelanggan.  Oleh sebab itu bisnis Salon, bengkel, konsultan, harus mewaspadai kondisi ini.

Mewaspadai bukan berarti mencurigai, mewaspadainya dengan membuat sistem baku, dan standar kerja yang terukur.  Berapa lama untuk mengerjakan pekerjaan tertentu, berapa bahan yang harus diberikan per satuan pekerjaan tersebut.  Kalau bisnis seperti bisnis pencucian mobil di atas, harus ada standar waktu mencuci mobil, berapa menit mencuci, berapa menit  standar waktu untuk pengeringan, satuan samponya berapa milliliter untuk setiap mobil.  Kalau perlu samponyapun sudah di kemas dalam satuan untuk kebutuhan satu mobil.  Demikian pula untuk bisnis salon, bengkel, konsultan dan bisnis jasa lainnya.

Uang Tips memang tidak perlu diharamkan, tapi dikelola bersama.  Dikumpulkan, dicatat dan dibagi rata untuk semua, Menurut pengalaman, uang tips dan bonus bulanan (jika ada) sebaiknya dibagi dipertengahan bulan, tidak digabung dengan waktu gajian bulanan.  Dengan selang waktu, biasanya bisa mengurangi kas bon, di pertangahan atau akhir bulan yang biasa dilakukan beberapa karyawan.

Kalau sistem sudah dibangun, maka harus dijalankan dengan benar dan harus selalu dievaluasi serta diawasi,  bukan dicurigai.