selamat datang

Ya TUHAN, Penguasa seluruh alam, Yang Maha Perkasa, Maha Kaya, Maha Bijaksana, Maha Adil, dan segala MAHA hanya milikMU, ampunkan diri kami yang sering berlaku sombong, yang sok pinter, sok tahu, sok berpengalaman dan sok-sok-an lainnya. Dengan Maha Kasih dan Maha SayangMU, kami mohon petunjuk, mohon bimbingan, dalam menjalankan tugas untuk ikut memakmurkan bumi ini, lindungilah kami dari segala godaan yang menyesatkan, hingga sering menjauh dari tugas mulia yang telah ENGKAU perintahkan. Berilah kekuatan untuk melawan kezaliman hati kami. Jauhkanlah kami dari rasa takut menderita, takut kekurangan, dan ketakutan lain yang membuat diantara kami saling membiarkan, saling menelantarkan, dan hanya mementingkan diri kami sendiri. Dengan IzinMu, kami berkumpul, bersilaturahmi di wahana ini, untuk saling mengingatkan, saling berbagi, saling membimbing diantara kami. Hindarkanlah kami dari kegemaran saling mengolok-olok, tuntunlah kami dalam kesantunan, dan kerendahan hati. Hindarkanlah diantara kami dari rasa paling benar, karena memang hanya kebenaranMu-lah yang paling hakiki.

Sabtu, 26 Februari 2011

Antara SAPI, ANJING, MONYET dan MANUSIA

Ada sebuah cerita dari daratan Tiongkok, konon sebelum Tuhan menciptakan manusia, terlebih dahulu diciptakanlah Sapi, Anjing dan monyet, baru setelah ketiganya, diciptakanlah manusia.     Sesaat setelah Tuhan menciptakan sapi, Tuhan mengatakan kepada makhluk ini, “Ah Ngau (sapi) , tugasmu  nanti menemani petani bekerja di ladang sepanjang hari, dibawah terik matahari.  kamu akan dibekali dengan tenaga yang kuat sehingga mampu menarik beban berat, kamu juga harus menyediakan susu untuk diminum manusia.  Sebagai imbalannya kamu akan diberi makan rumput.  Dan untuk tugas itu, kamu Aku  beri usia kehidupan selama 50 tahun.

Ah Ngau mengajukan keberatan. “masak aku harus bekerjakeras sepanjang hari di bawah terik matahari, masih harus memberi susu , berat sekali tugas ku.  Lagi pula untuk tugas berat itu Tuhan menghendaki  aku harus hidup 50 tahun.  Aku hanya sanggup 20 tahun saja, dan aku kembalikan 30 tahun sisanya.

Tuhan setuju.

Hari berikutnya Tuhan menciptakan Anjing. “ Ah Kow (anjing), aku menciptakanmu dengan maksud, engkau harus duduk sepanjang hari di depan pintu rumah majikanmu.  Kalau ada orang asing mendekat, kamu harus menggonggong.  Sebagai imbalannya, kamu akan mendapatkan makanan sisa majikanmu. Dan kamu akan diberi umur kehidupan selama 20 tahun.

Ah Kow-pun mengajukan keberatan. Masak saya harus duduk sepanjang hari dan harus menggonggong ke orang asing, selama 20 tahun hanya mendapatkan sisa makanan? Saya hanya sanggup 10 tahun saja Tuhan, 10 tahun sisanya saya kembalikan.

Tuhan setuju.

Hari berikutnya Tuhan menciptakan Monyet.  Sesaat setelah menciptakan monyet Tuhan memberi tahu kepada si monyet "Mah lau (monyet), tugasmu menghibur manusia.  Kamu harus menampilkan wajah lucu dan bertingkah tolol sehingga membuat manusai tertawa.  Kamu akan dibekali kemampuan salto, dan berayun. Sebagai imbalannya, kamu akan diberi pisang dan kacang kegemaranmu.  Untuk itu Aku akan memberimu usia 20 tahun.

Bisa di duga sang monyetpun mengajukan keberatan.  “Ini menggelikan, masak harus 20 tahun hanya untuk  menghibur manusia, salto dan berayun-ayun,  lagi pula hanya mendapat pisang dan kacang. Ya Tuhan,  saya ambil 10 tahun saja, 10 tahun sisanya saya kembalikan

Tuhan setuju lagi.

Hari berikutnya Tuhan menciptakan manusia, dan mengatakan kepada manusia “kamu hasil karyaku yang terbaik, karenanya kamu tinggal tidur, makan, bermain, tidur lagi. Kamu boleh makan segala makanan terbaik, dan bermain dengan mainan terbaik.  Untuk itu Aku beri kamu umur 20 tahun untuk kehidupanmu.

Persis seperti ciptaan lainnya, manusiapun mengajukan keberatan. Ya Tuhan, masak tinggal santai, makan dan bersenang-senang hanya mendapat jatah hidup 20 tahun.  Begini saja Tuhan, 30 tahun jatah umur yang dikembalikan Ah Ngau, 10 tahun dari Ah Kow, dan 10 tahun lagi dari Mah lau, dari pada tak terpakai untuk saya semua saja, sehingga saya mempunyai jatah hidup 20 + 30 + 10 + 10, jadi jatah hidupku 70 tahun.

Karena sifat Tuhan selalu baik, Tuhan setuju, sambil tersenyum. jadilah seperti sekarang ini......

Manusia makan, tidur dan bersenang-senang sampai umur 20 tahun jatah asli kehidupan pertamanya. Selanjutnya bekerja keras  selama 30 tahun, bagai sapi, lalu duduk di depan pintu dan kerjanya marah-marah selama sepuluh tahun, setelah pensiun.  Dan 10 tahun berikutnya kita dipaksa menampilkan wajah lucu dan melakukan ulah menarik untuk menyenangkan dan menghibur sang cucu.

Benarkah hidup kita hanya demikian kawan? ………Tanpa makna yang lain? …… hanya kita yang tahu dan hanya kita yang memaknai hidup kita………. Selamat memaknai hidup kawan.

sumber Ide: character

Jumat, 25 Februari 2011

Penderitaan di kapal oleng

Siapa yang tak kenal Abunawas.  Seorang sufi, cendekiawan, penyair ulung dan humoris, dan terkadang konyol.  Dia lahir di Azhwa, sebuah desa di Kazakhstan, sebelah barat persia dan meninggal di bagdad tahun 814 M.  Semasa hidupnya merantau untuk belajar berbagai macam ilmu, dan akhirnya menjadi penasehat kerajaan di kesultanan yang dipimpin Harun Ar Rasyid.

Salah satu cerita yang bisa kita simak adalah saat Abu Nawas harus mendampingi sang Sultan yang mengunjungi daerah-daerah yang dipimpinnya.  Pendek kata di dalam perjalanannya sang sultan beserta rombongannya harus menyeberang sungai yang sedang banjir.

Air deras dan gelombang yang ditimbulkannya menggoyang perahu yang digunakan oleh sang Sultan, sehingga jalannya oleng.  Karena ketakutan sang Sultan memegang tangan Abunawas sambil berteriak-teriak minta tolong kepada Abunawas. “Engkau kan cerdik dan panjang akal hai Abu Nawas, cepat tolong aku dan cari akal agar aku tidak takut, aku tidak bisa berenang” teriakan terus menerus membuat Abu Nawas merasa iba.

“Saya bisa menolong ketakutan paduka, tapi saya rasa cara saya ini tidak disenangi paduka” kata Abu Nawas ragu-ragu.  “kerjakan saja, yang penting aku tidak ketakutan lagi”  teriak sang Sultan.  “Cepat Abu Nawas, kerjakan, ini perintahku” teriak sang sultan bertambah keras.  Akhirnya Abu Nawas Mendorong tubuh sang Sultan hingga tercebur ke sungai.  Tentu saja sang Sultan yang tidak bisa berenang panik, timbul tenggelam di sungai yang deras aliran airnya.

Abu Nawas dengan tenang melemparkan tali ke sang Sultan, “tangkap tali ini Sultan” teriak Abu Nawas. Setelah Sultan berhasil menangkap talinya, Abu Nawas menarik talinya dan mengangkat sang Sultan naik ke perahu lagi.


“Kenapa engkau mendorongku hingga aku jatuh masuk kedalam sungai? Teriak sang Sultan dengan kemarahan yang memuncak .  Lagi-lagi dengan tenang Abu Nawas menjawab” saya mematuhi dan menjalankan perintah paduka yang mulia”, “Perintah yang mana hai Abu Nawas? hardik Sang Sultan.  “Perintah untuk menolong baginda dari rasa takut baginda di perahu yang oleng ini baginda” jawab Abu Nawas.  “Lalu kenapa dengan cara mendorong dan menceburkanku ke sungai” jawab Sultan masih dengan nada marah.  “Sekarang bisa paduka rasakan, lebih takut ketika berada di dalam  sungai tadi atau lebih takut di perahu oleng ini? Tanya Abu Nawas dengan nada datar.  “Lebih nyaman di perahu oleng ini Abu Nawas” jawab sang Sultan sambil menunduk, seraya melanjutkan kalimatnya “Benar kau Abu Nawas, kita sering merasa paling menderita kalau sedang mendapat cobaan, walaupun cobaan itu baru kecil saja, kita sering lupa ada cobaan lain yang lebih besar, yang menimpa saudara-saudara kita.


Diadabtasi dari cerita Abu Nawas

Ketegaran dalam kesedihan sang penjual salak

Pada suatu saat, Istana Bogor hendak kedatangan tamu terhormat, tamu kenegaraan.  Biasanya di hari-hari biasa banyak pedagang di sepanjang pagar, baik jualan kangkung dan wortel untuk pengunjung yang ingin memberi makan rusa yang hidup lepas di halaman Istana.

Biasanya pula, jika hendak menerima tamu kehormatan, pedagang dilarang berjualan di sepanjang pagar Istana.  Namun pada hari  larangan itu, muncullah pedagang duku yang menjajakan dagangannya.  "Ku…. Duku.  Ku…. Duku", teriaknya sambil menyusuri pagar istana.  Melihat ada penjual duku yang melanggar aturan, sang petugas Istana dengan sigap memanggil sang penjual duku, sembari menghardik memarahinya.  “tahukah hari ini ada larangan jualan disepanjangn pagar?” agar penjual lain tidak ikut-ikutan maka penjual duku diberi hukuman.  Hukumannya si penjual duku diminta nungging sambil membuka celanya. Diambilnya sebutir barang dagangannya (duku) dan dimasukkan ke anus si penjual.  Tentu saja penjual teriak-teriak kesakitan. Setelah menerima hukuman akhirnya pedagang duku dilepas dengan peringatan, tidak boleh berjualan lagi di sepanjang pagar.

Selang beberapa saat muncul lagi penjual lain, pedagang salak.  Sambil memikul salak dagangannya si penjual berteriak menjajakan dagangannya.  "Lak….salaaak, salak…..salak".  Mendengar teriakan pedagang salak, sang petugas yang penuh disiplin menjalankan tugasnya, bergerak sigap memanggil dan menggiring pedagang ke pos penjagaan lagi.  "Tadi sudah ada pedagang duku yang melanggar aturan larangan berjualan disepanjang pagar ini,  dan harus menerima hukuman" kata sang petugas.  "Seperti pedagang duku, agar jera, kamu juga harus dihukum seperti pedagang duku.  Nungging dan buka celanamu" perintahnya tegas.  Diambilah sebuah salak dan dimasukkanlah ke  anus si pedagang.  Buah duku yang kecil saja sudah membuat teriakan yang memekakkan telinga, tetapi kenapa pedagang salak malah tertawa terbahak, seakan tidak merasa kesakitan.  Petugaspun mundur selangkah, merasa keder juga, jangan-jangan si penjual salak adalah orang yang sakti, pikirnya, tanpa merasa sakit pada saat anusnya dimasuki buah salak.  Dengan perlahan dan sopan sang petugas bertanya kepada si penjual salak, "bapak orang sakti ya?, bapak berguru dimana?".  " Bukan", jawab pedagang salak, "bukannya saya sakti.......lihat di belakang itu…… ada penjual duren".  Membayangkan betapa sakitnya jika penjual duren mendapatkan hukuman, seperti dirinya. Menjadikan sakitnya tak terasakan lagi.

Cerita ini hanya untuk memberikan semangat bagi mereka yang terlalu dalam meratapi kegagalannya.  Kalau kita hanya merasakan kegagalan kita, memang sakit, sedih dan kecewa.  Tetapi sering-seringlah kita melihat kegagalan, kesedihan dan kekecewaan orang lain yang jauh lebih berat.  Mudah-mudahan, kekecewaan dan kesedihan kita menjadi tak terasa lagi. Dan kita cepat bangkit menyongsong keberhasilan-keberhasilan lainnya.

Tidak gampang memang, untuk mengatasi kekecewaan hati.  Orang yang terlalu terbenam dalam kekecewaan adalah orang yang tidak bisa hidup di alam kenyataan.  Manusia  kecewa, sedih, patah hati dikarenakan apa yang dinginkannya tidak sejalan dengan kenyataan.  Sebaliknya akan bahagia jika apa yang dinginkan, apa yang diharapkan sesuai dengan kenyataan.  Jadi apa yang diinginkan dan apa yang diharapkan manusia   bukanlah kenyataan, tapi baru angan-angan manusia, baru khayalan kita.  Oleh sebab itu orang yang tenggelam terlalu dalam di dalam kekecewaannya, apalagi sampai patah hati, patah semangat, adalah orang yang hidup di alam angan-angannya, di alam khayalannya.  Sedang hidup yang kita hadapi adalah kenyataan ini.  Kalau kenyataannya belum sesuai dengan harapannya, mari kita sadari tidak hanyut di dalam angan-angan, tidak larut di alam khayalan.  Kita harus tetap hidup di alam kenyataan.  Hidup di alam kenyataan harus dengan semangat, harus dengan kerja keras, harus berkeringat.  "Bahwa di dalam kesulitan itu ada kemudahan".

Wonokairun

Ada banyolan Suroboyo, yang cukup menarik untuk kita simak.
Ceritanya begini, kakek Wonokairun datang ke warung kelontong (Mrancangan) milik bu Nyali, tetangganya.
“ Mau beli apa kek?” tanya bu Nyali dengan ramah.
“mau beli sabun Colek” jawab kakek Wonokirun.
“Ada nih,…….. memangnya sekarang nyuci sendiri ya kek? Tanya bu nyali, tetap dengan gaya ramahnya.
“Enggak sih,…….. mau buat nyuci kucing” Jawab Wonokairun santai.
“Hah……..Nyuci kucing? …….apa ngga mati kek? Bu Nyali kaget
“ Enggak,…….., habis banyak kutunya” kata Wonokairun
“Banyak kutu?, ……kan ada obat kutu kek". Bu Nyali menawarkan dagangan yang pas untuk kebutuhan kakek Wonokairun
“ Enggak usah, ini saja, temanku juga nggak apa-apa pakai sabun colek” Jawab Wonokairun yakin.
“Oh ya sudah......, ini sabunnya kek ” kata bu Nyali sambil menyerahkan  sabun dan menerima uang pembayaran.

Esok paginya Kakek Wonokairun datang  lagi ke warung bu Nyali. Kali ini mau beli kopi.
Dengan gaya sok akrabnya, bu Nyali bertanya ke kakek Wonokirun ” Gimana kucingnya kemarin kek ?’
“Matek …….” jawab kakek Wonokairun tanpa ekspresi penyesalan.
‘Mati !.......Tuh, benar kan ?.  Kemarin saya kan sudah bilang kek, kucing kok dicuci dengan sabun colek, padahal ada obat kutu” kata bu Nyali merasa benar
 “jangan sok tahu….., matinya itu bukan karena sabun colek” kata Wonokairun tak mau disalahkan .
“ memang matinya kenapa kek? Tanya bu Nyali penasaran
“Saya peres . . “jawab Wono kairun santai sambil ngeloyor bawa kopi
“diperas?............bu Nyali bengong…….”Kucing kok diperas”

Cerita di atas mengingatkan kepada kita, kalau mau bisnis, kalau mau buka usaha, jangan suka ikut-ikutan, kalau di suatu tempat  kita melihat suatu usaha maju, ramai, lalu pulang membuka usaha persis seperti yang dilihatnya.  Ingat Wonokairun, mati ujungnya.

Wonokairun ini , setiap pagi memperhatikan istrinya mencuci pakaian sambil minum kopi.  Setiap akhir pekerjaan mencucinya, selalu diakhiri dengan memeras. Makanya saat mencuci kucing, diakhiri pula dengan memerasnya. ya ...Matek.


sumber : kiriman pak Jati yang di alih bahasa

MELAWAN RENTENIR

Sutie Rahyono – Praktisi dan Trainer Kewirausahaan

Sebut saja Namanya pak Fauzan, pedagang mie ayam di bogor.  Sebelum mangkal di sewaan sisi sebuah rumah di jLn Tentara pelajar, selama 4 tahun sebagai pedagang keliling dengan gerobak dorongnya.  Mie ayamnya enak di lidah penulis, sayang dia berdagang keliling, susah besar, akhirnya penulis sarankan untuk mangkal saja disuatu tempat, agar jika ada orang yang mencari untuk membeli lagi, mudah menemukannya.  Gerobaknya penulis  sarankan diberi nama agar membedakan dengan gerobak mie ayam lainnya, akhirnya diberi nama “Mie Fauzan”, disamakan dengan namanya sendiri, sebuah nama yang cukup bagus untuk dunia bisnis “beruntung”.

Benar adanya, akhirnya mie ayamnya dikenal dan berhasil menggaet pelanggan tetap dan terus bertambah, hingga bisa menjual 80 hingga 120 porsi setiap harinya, dengan kisaran omset penjualan 400.000  - 800.000 rupiah.

Kurang lebih empat bulan yang lalu (dari tulisan ini ditulis), penulis perhatikan, sehari jualan 2 hari libur, atau dua hari jualan sehari libur. Penulis rasa ada yang salah dengan usahanya.  Setelah penulis tanyakan, memang benar, ekonomi rumah tangganya sedang kocar-kacir, sejak orangtuanya divonis mengidap kanker, uang usahanya praktis habis untuk membaiayai.  Tidak tanggung-tanggung dia saat itu terjerat hutang 3 bank, 5 perorangan dan 14 orang rentenir, dengan cicilan harian yang harus disediakan untuk rentenir saja, sebesar Rp. 435.000,- per hari, dan untuk cicilan bulanan bank, Rp.1.850.000,-.   Dengan kinerja usaha seperti di atas,  sangat berat dan susah untuk menyelesaikan hutang-hutangnya.  Kalau diteruskan dengan cara yang saat itu dijalankan, pasti   hanya akan menambah hutang, karena upaya yang dilakukan hanya dengan “gali lubang tutup  lubang”,  berhutang hanya untuk menutup hutang lainnya.  Akhirnya julukan “tukang hutang” mulai melekat dari lingkunganya dan mempersempit ruang  gerak menghutangnya.

Kondisi pak Fauzan lengkap dengan kinerja usaha dan reputasinya, coba penulis utarakan ke beberapa bank dan perusahaan yang memiliki program CSR (corporate Social Responsibility) atau Program Kemitraan dan Bina Lingkungan (PKBL) perusahaan BUMN.,  Jawabnya sama, tidak bisa mengabulkan  walaupun dengan dana hibah sekalipun, apalagi dana komersiilnya.

Langkah terakhir yang harus ditempuh, tinggal melawan rentenir, tetapi mendorong keberanian "Melawan Rentenir" memang tidak gampang, mengingat pengalamannya selama ini yang pernah diterima dari para rentenir, apabila menungak pembayaran cicilan.

Memompa semangat melawan, dimulai dari mengingatkan, bahwa pintu surga tak akan terbuka jika masih meninggalkan hutang di dunia.  Untuk bisa melunasi hutang-hutangnya, satu-satunya cara adalah dengan memperbesar omset, meningkatkan volume penjualan, baik dengan  menambah jam jualan sampai Jam 9 malam dan/atau  menambah outlet, harus dilakukan.  

Modal untuk memperbesar usahanya  berasal dari uang yang seharusnya untuk angsuran ke rentenir dan bank, kita 'membandel" untuk menunda pembayaran cicilan. Uang yang seharusnya untuk mencicil hutang,   dikumpulkan untuk memperbesar usaha, agar pendapatan dan keuntungan usaha bertambah, baru hasil dari pembesaran ini,  nantinya digunakan untuk  melanjutkan membayar dan melunasi semua hutangnya .Cara lain yang juga harus dikerjakan secara bersamaan adalah mengendalikan konsumsi rumah tangganya.

Rencanapun mulai dijalankan, bentakan-bentakan mulai didapat.  Kemarahan dan  teror dari para pemberi hutang setiap hari didengarnya, dan setiap hari menjadi tontonan tetangga, hampir tak tahan.  Gerobak ditarik oleh petugas bank, penulis dampingi untuk melawan,  kami jelaskan, minta ditunda agar usaha bisa membesar, baru melanjutkan cicilan, kalau gerobak ditahan, tak bisa menghasilkan lagi, semakin tidak mampu membayar. Gerobakpun dikembalikan.  Preman datang dari rentenir, ancaman demi ancaman, intimidasi setiap hari silih berganti, lari ke RT/RW dan polisi  minta didampingi, minta perlindungan.  

Cobaan belum berakhir, tempat berjualan tak diperpanjang sewanya, dengan alasan tempatnya tak mau dipakai tempat marah-marah para preman, takut keluarganya  ikut kena getahnya.

Tidak jauh dari tempat berjualan yang lama, mendapat tempat dengan sistem bagi hasil, cukup membantu karena tidak harus membayar uang sewa di muka, tetapi harus menanggung turunnya omset karena kepindahan.  Tidak mengapa, paling sesaat, beruntung gerobaknya sudah diberi nama, sehingga semua pelanggan mengenalnya.   

Pengumpulan uang hasil “membandel” tidak membayar cicilan, digunakan untuk membuka outlet baru di rumah kontrakannya. Tidak strategis memang, berapapun omsetnya untuk menambah penghasilan.

Datang tawaran dari sebuah bank untuk menyalurkan dana KUR asal dengan jaminan dari penulis.  Pinjaman baru memang bisa untuk menutup semua pinjaman rentenir yang harus membayar harian, dan bisa berganti dengan cicilan bulanan dengan bunga jauh lebih rendah.  Dana KUR memang bisa melunasi hutang ke rentenir, namun bisa juga menyurutkan semangat membesarkan usaha. Utang ke rentenir memang lunas, tetapi usaha tetap sebesar sebelumnya.  Atas dasar pemikiran tersebut, tawaran KUR ditolak.

Selang dua minggu dari outlet kedua, buka lagi outlet baru, lagi-lagi dengan pengumpulan uang hasil “membandel”.  Setelah 3 outlet dibuka, baru mulai mencicil hutang lagi. 

Hari ini saat tulisan ini dibuat, cicilan hutang semua rentenir telah lunas, tinggal cicilan bank.  Hari ini pula outlet ke 4 dibuka, dengan omset perdana Rp. 70.000,-.

Produk enak dan bermutu, berani dan pantang menyerah, pelayanan prima penuh kesantunan serta dijalankan dengan kecermatan dan hemat  bisa menjadi kendaraan untuk maju, bukan modal uang.

Selamat berjuang pak Fauzan.  Anda guru bagi kita semua.

Minggu, 20 Februari 2011

UANG TIPS bisa membunuh bisnis

Sutie Rahyono – Praktisi dan Trainer Kewirausahaan

Apa sih susahnya mengelola bisnis pencucian mobil? Bisnis yang tidak memerlukan ketrampilan tinggi ini.  Tetapi kenapa saya mengalami kebangkrutan? Apa yang salah dalam mengelola bisnis saya ini? Apakah saya tidak berbakat bisnis?  Demikian pertanyaan penuh semangat dari peserta pelatihan kewirausahaan yang pernah penulis  dampingi.

Sebenarnya memang tidak ada bisnis yang gampang, yang sering adalah orang menggampangkan.  Semua ada ilmunya, jika sudah memiliki ilmunya tentu yang sulit, agak lebih gampang menanganinya.  Tapi kalau sudah menggampangkan biasanya cenderung teledor.

Pada saat ditanyakan "apakah karyawannya merasa betah bekerja di tempat bapak? Dengan bangganya beliau menjawab ”betah dan sangat betah pak, karena saya memperlakukan mereka seperti keluarga sendiri, apa yang saya makan mereka juga ikut makan”.  Bagaimana dengan sistem penggajian dan bonus?.   Katanya di dalam usaha cuci mobil tidak biasa memberlakukan sistem gaji, tetapi sistem bagi hasil.

Pertanyaan selanjutnya saya ajukan ke “yang mengaku” mantan pebisnis pencucian mobil tersebut, “Sekarang ini dan sebelum memiliki bisnis pencucian mobil,  kalau bapak mencuci mobil kemana?    “ke tempat cucian langganan saya” jawabnya.  “pada saat bapak mencucikan  mobil bapak, apakah bapak  biasa memberi uang Tips ke karyawan yang mencuci mobil bapak?betul, saya biasa memberinya” katanya.  “Dengan tujuan apa bapak memberi uang Tips, toh sudah tercantum harga/biaya cuci mobil”.  “Yah, agar benar kerjanya, sambil sedekahlah ke (maaf) orang kecilPada saat usaha pencucian mobil bapak masih ada, pernahkah bapak memperhatikan uang tips dari para tamu seperti bapak?oh tidak, itu hak mereka saya tidak mau ikut campur, itu rejeki mereka”.

Banyak sekali kita tidak menyadari uang Tips ini bisa membunuh bisnis kita.   Karena jiwa sosial yang kita miliki, kita enggan mengaturnya, biar mereka mengaturnya sendiri.

Seperti bapak di atas, kita sering enggan mengakui bahwa, uang tips tersebut diberikan dengan harapan agar kerjanya benar, agar memuaskan sang pemberi tips.  Pemberi tips tidak sadar, bahwa untuk memuaskan sang pemberi tips tersebut, apalagi uang tipsnya sudah dikenal besar oleh karyawan (pemilik usaha biasanya tidak hafal bahkan tidak tahu), maka karyawan yang melayani akan melayani dengan habis-habisan tanpa mempedulikan sistem dan standar kerja (inipun kalau sistem dan standar kerja sudah disusun).  Waktu biasanya lebih lama, bahan yang diberikan biasanya akan lebih banyak dari mereka yang hanya memberi uang tips kecil, apalagi untuk si Pelit (julukan para karyawan untuk tamu yang tidak pernah memberikan uang tips). Alhasil yang seharusnya sehari bisa melayani 10 mobil persatuan luasan lahan usaha, kini hanya bisa melayani jauh di bawah standar.  Akhirnya pelanggan malas datang karena antrinya lama, hanya mereka yang “puas” karena uang tips-nya, yang masih setia datang.  Disinilah bisnis, karyawannya sejahtera, tetapi bisnisnya sendiri bangkrut karena pendapatannya tidak mencukupi untuk operasionalnya.

Tidak sedikit bisnis yang mengalami nasib seperti di atas.  Bisnis di bidang jasa, biasanya memiliki titik kritis seperti ini, rentan karyawan dikendalikan oleh pelanggan.  Oleh sebab itu bisnis Salon, bengkel, konsultan, harus mewaspadai kondisi ini.

Mewaspadai bukan berarti mencurigai, mewaspadainya dengan membuat sistem baku, dan standar kerja yang terukur.  Berapa lama untuk mengerjakan pekerjaan tertentu, berapa bahan yang harus diberikan per satuan pekerjaan tersebut.  Kalau bisnis seperti bisnis pencucian mobil di atas, harus ada standar waktu mencuci mobil, berapa menit mencuci, berapa menit  standar waktu untuk pengeringan, satuan samponya berapa milliliter untuk setiap mobil.  Kalau perlu samponyapun sudah di kemas dalam satuan untuk kebutuhan satu mobil.  Demikian pula untuk bisnis salon, bengkel, konsultan dan bisnis jasa lainnya.

Uang Tips memang tidak perlu diharamkan, tapi dikelola bersama.  Dikumpulkan, dicatat dan dibagi rata untuk semua, Menurut pengalaman, uang tips dan bonus bulanan (jika ada) sebaiknya dibagi dipertengahan bulan, tidak digabung dengan waktu gajian bulanan.  Dengan selang waktu, biasanya bisa mengurangi kas bon, di pertangahan atau akhir bulan yang biasa dilakukan beberapa karyawan.

Kalau sistem sudah dibangun, maka harus dijalankan dengan benar dan harus selalu dievaluasi serta diawasi,  bukan dicurigai.

Sabtu, 19 Februari 2011

MENYEHATKAN BISNIS WARUNG KELONTONG

Sutie Rahyono -  Praktisi dan trainer kewirausahaan

Warung kelontong mungkin salah satu bisnis paling diminati masyarakat.  Rata-rata mereka menerjuni bisnis ini dengan alasan tidak perlu ketrampilan tinggi, mereka beranggapan bahwa bisnis ini hanya perlu melakukan pekerjaan belanja barang/kulak-an, menata barang, duduk menunggu pembeli, pasang harga jual diatas harga beli, sederhana sekali.  Begitu pikir mereka.

Namun apakah sesederhana itu?  Kalau cuma sesederhana itu, mengapa banyak warung kelontong baru yang tumbuh, belum  sempat berkembang, langsung layu.  Anehnya pula, masih banyak warung baru tumbuh, bahkan  yang baru lebih banyak dari yang bangkrut tersebut.  Kalau kenyataannya demikian, tentu ada yang salah akan anggapan di atas.

Dalam kenyataan, tidak sedikit suatu warung terlihat bertambah besar, barang dagangannya bertambah banyak.  Dari luar terlihat seakan warung tersebut berkembang, namun perkembangannya semu, sebenarnya tidak efisien.  Banyak warung yang terlihat besar, dengan nilai barang dagangan 75 – 100 juta, tapi omsetnya hanya 500 ribu – satu juta perhari.  Sangat tidak efisien jika dibandingkan dengan para pebisnis sayuran di pasar, dengan berangkat ke pasar bermodal 500 ribu, pulang bisa membawa uang satu juta rupiah, untungnya 100% perhari, . . .dahsyat.

Melihat kasus warung di atas, menunjukkan bahwa besarnya warung, bertambah banyaknya barang dagangan, tidak menjamin sehatnya suatu usaha.  Jangan-jangan pemiliknya tidak faham tentang karakter bisnis warung kelontong, atau tidak mampu menjual, dan tidak memahami barang apa yang dibutuhkan lingkungannya, sehingga menyediakan barang yang bukan kebutuhan prospek calon pembelinya. Mereka mengambil kesimpulan yang masih perlu diluruskan, pembeli sepi karena barang dagangannya kurang komplit.  Akhirnya mereka mencari modal tambahan entah dari bawah kasur atau bahkan berani mengajukan pinjaman, hanya untuk melengkapi jenis barang hasil pengambilan kesimpulan yang gegabah di atas. Akhirnya barang dagangan tambah banyak, bukannya tambah maju, malah tambah kedodoran, kualitas barang berdebu atau ketinggalan jaman.  Semakin menggenapi penyebab kebangkrutannya.

Jika kita perhatikan beberapa penyebab bertambahnya tumpukan stok barang dagangan yang dimiliki para wirausahawan warung kelontong, selain untuk melengkapi (komplitnya) barang yang ditawarkan, juga disebabkan ketidak mampuannya menangkap segmen pasar pelanggannya, ketidakmampuannya menangkap siklus perdagangan suatu produk dan mengulang kembali yang ternyata telah terbukti laris dan ingin mengulanginya.  Jika ini yang terjadi, maka benar bahwa usahanya tidak akan pernah efisien.  Kondisi ini akan diperparah lagi, jika didorong oleh para pemasar produk perbankan yang beranggapan, kalau suatu toko stok barangnya banyak, maka warung tersebut besar sehingga layak diberi pinjaman.

Apabila menemukan nasabah yang demikian apa yang harus kita lakukan? Upaya apa yang harus kita sarankan agar usahanya menjadi lebih sehat, pendapatan dan untungnya bertambah, plafon kreditnyapun bisa dinaikkan.

Keberhasilan  usaha toko kelontong akan dipengaruhi oleh jumlah pembeli/pelanggan yang datang yang dipengaruhi oleh pemahaman terhadap segmen pelanggannya, nilai belanja setiap pelanggan, persediaan barang, pemajangan , kewiraniagaan pegawai/wirausahawannya, pemilahan keuangannya serta jejaring/network antar wirausaha toko kelontong.

Pemahaman karakter pelanggan. Mari kita lihat catatan atau kita ingat kebiasaan para pelanggan kita dalam membeli produk yang kita tawarkan, apa dasar yang digunakan pelanggan kita untuk menentukan membeli suatu produk, apakah karena  merk, kualitas barang, harga, hadiah, besar kemasan yang tersedia, bungkus kecil atau besar, atau ada faktor lain bahkan kombinasinya.  Jika karakter pelanggan telah ditangkap, atur kembali persediaan sesuai dengan yang diinginkan dan dibutuhkan pelanggan tersebut. Persediaan yang telah terlanjur diadakan dan ternyata lambat penjualannya atau sedikit peminatnya harus segera dikeluarkan tukar atau lemparkan ke rekanan toko yang memiliki karakter yang cocok dengan produk yang berlebih tersebut, hal ini sangat penting agar modal tidak berhenti, serta menghindari resiko rusak, ketinggalan jaman dan kadaluarsa.  Kunci berjalannya strategi ini adalah kemampuan membangun jaringan dengan wirausahawan sejenis.   Dengan demikian persediaan tidak asal lengkap tetapi sesuai dengan kebutuhan  segmen  yang menjadi target pasarnya.

Kita perlu ingat bahwa pembeli/pelanggan tidak datang dengan sendirinya . Jumlah pembeli/pelanggan; sangat dipengaruhi oleh upaya kita menarik mereka, dengan program promosi, bentuk promosi yang tepat.  Ingat, tidak semua konsumen senang dengan program diskon, ada kelompok konsumen yang malu datang ke toko yang program promosinya dengan diskon dan ditulis besar-besaran dalam spanduk, ada kelompok pelanggan yang melihat harga murah mencerminkan kualitas rendah.  Kelompok mana pelanggan kita, karakter dan kebiasaan mereka bisa kita tangkap pada saat  mereka belanja.     wilayah penyebaran iklan/brosur sesuai dengan pasar potensial yang sesuai dengan karakter produk kita.  Program keberulangan membeli akan lebih manjanjikan keberlangsungan usaha dari pada sekedar diskon/potongan harga, beli sepuluh (kali) gratis 1 kali, untuk aqua atau gas misalnya. 

Calon pembeli/pelanggan yang telah kita upayakan untuk datang dengan promosi jangan tidak dioptimalkan nilai/jumlah pembeliannya.  Untuk itu kepiawaian para petugas yang melayani harus ditingkatkan kemampuan kewiraniagaannya.  Keramahan, pengetahuan produk dan menjual dengan mengingatkan dan mengusulkan.  Untuk itu perlu dibuat target rataan jumlah/nilai belanja setiap pembeli/pelanggan, dan diupayakan naik dari bulan ke bulan.

Jumlah pembelian para pelanggan juga sangat dipengaruhi oleh cara pemajangan barang dagangan.  Buat 3 (tiga)  zona pemajangan, zona atas, zona tengah dan bawah,  zona tengah untuk memajang barang dagangan yang memiliki margin keuntungan yang besar,  atau yang harus cepat terjual.  Zona ini mudah terlihat sehingga mudah menarik minat untuk membeli.  Jangan memajang barang dibeberapa tempat, jika ini terjadi, maka apabila penjaga toko yang biasa bertugas berhalangan datang, bisa berakibat turunnya omset.

Agar usaha bisa berjalan langgeng dan semakin meningkat, maka usaha perlu dijaga dengan memelihara pelanggan untuk tetap loyal,  karyawan supaya betah, dan pemasokpun bersemangat menyediakan barang.

Kamis, 17 Februari 2011

ALIH PROFESI (dari karyawan ke Wirausaha)

Sutie Rahyono - praktisi dan trainer kewirausahaan

Ada pola pikir dan kebiasaan yang harus dirubah mana kala seseorang ingin beralih profesi dari karyawan/pegawai/tentara/polisi menjadi seorang wirausaha.  Setidaknya ada 3 hal mendasar yang harus berubah, yaitu: Pola pikir, Pola belanja dan filosofinya.

Pola pikir mereka yang yang  menjadi karyawan/pegawai biasanya berorientasi kemanan penghasilan, mereka biasanya ingin Berpenghasilan Tetap. Mereka harus sadar dan faham bahwa wirausaha tidak berpenghasilan tetap, tetapi Tetap Berpenghasilan.
 
Pola pikir di atas kelihatannya sederhana dan hanya dibalik, tetapi memiliki konsekuensi yang berbeda dalam  memanfaatkan penghasilan yang diperoleh.  Biasanya pola belanja mereka yang berpenghasilan tetap apabila menerima pendapatan/gaji, digunakan untuk belanja memenuhi kebutuhan keluarga, dan menabung menjadi urutan setelah belanja tercukupi, atau kalau ada sisa.  Jika kebiasaan ini masih digunakan manakala telah beralih profesi menjadi wirausaha, maka perkembangan usahanya tentu akan lambat.   Jika telah beralih profesi menjadi wirausaha, sebaiknya pola belanja harus berubah, sesaat setelah menerima pendapatan/laba, maka menabung menjadi urutan pertama dan belanja keperluan keluarga secukupnya atau dibatasi atau bahkan sisanya, karena hari-hari ke depan belum tentu memperoleh pendapatan. Kita sering mendengar bahwa saudara kita etnis cina yang kita akui piawai dalam berbisnis, makannya bubur sebelum usahanya berhasil dan baru akan makan nasi apabila usahanya telah bedrhasil.  Jika tanggungan keluarga bertambah dan hasil usahanya belum mampu untuk menambah membeli beras, maka tidak dipaksakan (apalagi dengan berhutang) hanya untuk menambah membeli beras.  Yang ditambah adalah airnya hingga menjadi bubur.  Semua dilakukan dengan penuh kesadaran dan disiplin, jika tidak maka modal dagang bisa habis dimakan untuk memenuhi keperluan rumah tangganya yang tak terkendali.

Filosofi hidupnya masih menganut ilmu padi, semakin berisi semakin merunduk.  Filosofi ini memang luhur untuk mengendalikan kita tidak menjadi orang yang sombong dan tinggi hati.  Tetapi jika dibawa ke ranah wirausaha sering menjadi batu sandungan bagi usahanya.  Tidak sedikit para mantan pegawai/karyawan/tentara/polisi yang berwirausaha apabila ditanya tentang usahanya menjawab dengan rendah hati bagai sang padi, …. Yah usaha “kecil-kecilan”, “iseng aja” bahkan “dari pada nganggur” katanya, dan tidak sedikit pula akhirnya kecil bener, iseng bener dan nganggur bener.   Mereka masih segan dan malu menyebut dengan bangga bahwa sop buntut warungnya dikenal enak,  Power steering bengkelnya jarang mengecewakan, atau kualitas produknya banyak yang menyenanginya.  Sepele memang, tapi kalau pemiliknya tidak bangga akan usahanya bagaimana orang lain akan bangga.  filosofi Ilmu padi yang harus dipakai manakala beralih profesi menjadi wirausaha tentunya semakin berisi semakin tegak.  

Selamat mencoba.

MENYIAPKAN MODAL USAHA

Sutie Rahyono - Praktisi dan Trainer Kewirausahaan

JIka disebut modal usaha, di benak kita jangan langsung terbayang setumpuk uang yang bisa kita gunakan untuk membeli keperluan  yang dibutuhkan dalam suatu usaha.    Apabila semua ini tersedia, kita beranggapan suatu usaha bisa dimulai.  Usaha atau bisnis tidak sesederhana itu. 

Uang memang kita perlukan dalam menjalankan suatu usaha, penting memang, tetapi bukan yang terpenting, ketersediaan uang yang banyak  tidak menjamin keberhasilan suatu bisnis.  Jauh sebelum sampai pada Modal  uang, kita perlu mempersiapkan modal lain yang lebih penting dan lebih mentukan dalam mendukung keberhasilan suatu usaha, yaitu modal Kepribadian, Kreatifitas dan Profesionalime.

Untuk menjadi seorang wirausahawan modal yang perlu dipersiapkan memang sangat berbeda dengan modal untuk mempersiapkan diri menjadi karyawan.  Menjadi seorang karyawan, biasanya hanya diperlukan modal pengetahuan dan ketrampilan yang parsial, menguasai ilmu akuntansi saja  bisa digunakan sebagai modal melamar pekerjaan. Demikian pula jika kita hanya memiliki  ilmu marketing, ilmu kelistrikan, permesinan, Ilmu mengelola sumberdaya manusia  dan sebagainya, karena semua yang parsial tersebut nantinya akan dipadu menjadi sebuah teamwork.  Tidak demikian halnya dengan wirausaha, semua harus ditangani sendiri, dan harus dipersiapkan sendiri dengan baik dan sedini mungkin.

Walaupun untuk menjadi usahawan  dituntut memliki modal yang  komplit,  namun semua bisa tidak harus kita miliki sendiri secara pribadi, modal dan Ilmu yang dibutuhkan, bisa dimiliki banyak orang,  asal kita tahu siapa yang memilikinya, berusaha mengenal dan menjalin hubungan dengan baik dengan para pemiliknya dan menjadikannya sebuah jaringan yang kokoh.  Untuk itu dengan segala keterbatasan, kita harus memiliki ketrampilan dan keunngulan untuk piawai membina hubungan dengan orang lain.  Untuk semua itu diperlukan modal Kepribadian, Modal Kreatifitas dan Modal Profesionalisme.


Modal Kepribadian

Dasar untuk mengembangkan  modal  kepribadian ini adalah menyadari kelebihan dan  kelemahan yang dimiliki, namun tidak jumawa, yang seakan hanya memiliki kelebihan tanpa cacat dan kekurangan, mengetahui apa yang menjadi hobi dan kesukaannya, mampu mengendalikan emosinya, piawai membaca perasaan  orang lain atau empaty dan juga memiliki motivasi tinggi dan tak gampang pudar. Motivasi ini akan menjadi pendorong utama seseorang untuk mampu bertahan dan berjuang terus menerus.   Motivasi ini biasanya akan muncul dan terlihat dalam bentuk antusiasme di dalam mengerjakan setiap pekerjaan.

Mereka yang terampil menguasi dirinya, akan memiliki kepribadian yang luhur, dan biasanya akan memiliki kecakapan sosial yang tinggi yang akan membuahkan  citra diri yang positif sebagai modal dasar dalam membangun jejaring bisnisnya.  Sebagai modal dalam membangun hubungan dengan pemilik sumberdaya usaha yang diperlukan tapi tidak dimilikinya, sebagai modal untuk membangun hubungan dengan lingkungan bisnis dan sebagai modal untuk membangun hubungan dengan para karyawannya.

Contoh pentingnya modal ini bisa kita perhatikan dari penaglaman disekitar kita, sebuah usaha yang telah berhasil dibina dan dirintis orang tuanya, hancur dan jatuh setelah diwariskan kepada anak keturunannya.  Mengapa ini bisa terjadi, padahal modal dagangan/uang sudah banyak, modal nama yang sudah dikenal, modal pelangganpun  sudah banyak pula.  Modal yang ada tersebut ternyata tidak mampu untuk mempertahankan usaha yang sudah besar, apalagi untuk membangunnya.  Kejatuhan tersebut tidak sedikit yang dipacu oleh  karena yang diwariskan hanya bisnisnya, orang tua tidak mewariskan kepribadiannya, tidak mewariskan ketrampilan sosialnya, ketrampilan berhubungan dengan orang lain, ketrampilan mengendalikan emosinya, kejujuran, kesantunan serta empaty yang selama ini menjadi kekuatannya.  Orang tuanya lupa, tidak sadar atau tidak memahami, bahwa modal yang membesarkan usahanya adalah modal kepribadiannya.  Karena modal ini tak diwariskan, maka pelanggan yang selama ini dihargai, menerima kesantunan dan kepedulian dari orang tuanya, tiba-tiba perlakuan tersebut tak diperolehnya dari putranya.  Pelanggan akhirnya kecewa, malas, merasa tidak diorangkan dan banyak alasan lagi jika kita peduli untuk menulusurinya.

Modal kepribadian ini, tidak bisa datang begitu saja, tidak pula diwariskan secara genetic, semua harus melalui tahapan proses,  menyadari dan berlatih.  Memahami benar kekurangan dan kelebihan pada dirinya , tetapi tidak merasa paling berpengalaman, sok pintar dan berkuasa,  menerima segala kritik dan masukan dengan lapang dada,  menjauhkan diri dari gengsi dan rasa malu  yang tidak pada tempatnya.  Mengendalikan nafsu amarah sesuai porsi dan tidak di sembarang tempat.  Tidak egois dan mementingkan diri sendiri sehingga dikenal rakus dan tidak memiliki rasa pemaaf apalagi kedermawanan.  Tidak selalu berprasangka buruk pada orang lain dan pesaing. 

Penguasaan diri seperti ini merupakan modal kepribadian yang akan membawa pada citra diri yang positif yang sangat berharga dan sangat diperlukan di dalam keberhasila suatu usaha.  Penelitian Cuningham menyebut 49% kunci keberhasilan suatu usaha ditentukan oleh kepribadian pemiliknya, dan 17% berhubungan dengan pelanggannya.


Modal Kreatifitas

Setelah mengasah diri memiliki kepribadian yang jempolan sebagai modal menjalankan usaha, maka modal lain adalah modal kreatifitas.    Kreatifitas ini konon menurut para ahli tidak berhubungan dengan kecerdasan/IQ.  Kreatifitas ini sangat dirasakan kebutuhannya manakala sutau usaha menemui keterbatasannya, keterbatasan uang, bahan baku atau sumberdaya yang lain serta  pemasarannya. 

Konon pula setiap orang memiliki kreatifitas ini, yang terletak dibelahan otak sebelah kanan.  Hanya terasah atau tidak.  Bagi mereka yang biasa menjadi karyawan atau pegawai kreatifitasnya sering ditumpulkan oleh SOP (standard Operating procedur) dan SISDUR.  Mereka tidak terbiasa dan tidak berani keluar dari sistem yang telah dibakukan, bisa-bisa SP (surat Peringatan) yang akan di dapat jika mereka berani melanggar SOP dengan berkreasi menurut caranya sendiri. Ini penting disadari oleh mereka yang akan membuka usaha, tetapi sudah terbiasa menjadi pegawai.  Di dalam dunia wirausaha, berlaku hukum ”sesuatu hasil yang lebih baik tidak akan diperoleh dengan cara yang sama”.  Di dunia wirausaha Sangat dianjurkan untuk perfikir productively bukan reproductively, mengulang kembali cara-cara yang telah terbukti berhasil.  Lingkungan selalu berubah, siklus produk dan siklus usaha selalu mengalami perkembangan.

Banyak teori dan cara yang telah dikembangkan oleh para ahli kreatifitas ini, mulai dengan berlatih berfikir kreatif, berfikir metafora, teori SCAMPER (substitusi, modifikasi, Analog, Magnify, mengambil bagian yang lain/put to other use, eleminasi atau menyingkirkan bagian lainnya hingga me-reverse atau membalik).  Ada pula mengembangkan kreatifitas dengan cara pemaksaan hubungan (Force relationship), memaksakan untuk menghubungkan sesuatu yang sama sekali tidak berhubungan menjadi berhubungan.  Humor plesetan sering pula digunakan untuk melatih kreatifitas ini.

Dengan modal kreatifitas, kita terhindar dari kelatahan bisnis, yang hanya bisa menjadi follower , menjadi peniru, plêk, persis, sehingga tidak memiliki originalitas dan keunikan yang menjadi ciri khas produk dan usahanya.  Wirausahawan seperti ini bagai cerita seorang kakek tua yang bernama Wonokairun yang hanya bisa meniru  rutinitas istrinya  dalam mencuci pakaian, sehingga pada saat ia mencuci kucing  yang banyak kutunya, diakhir pencuciannya,  kucingpun di peras.  Matilah sang kucing di tangannya.


Modal profesionalisme.

Modal usaha lain yang tak kalah pentingnya adalah profesionalitas atau profesionalisme, modal ini sangat menentukan terjadinya keterulangan penjualan, membeli sekali, puas dan membeli lagi berkembang menjadi pelanggan dan  meningkat menjadi pelanggan yang loyal dan ke puncak tataran  menjadi pembela atau advokat.

Jika tataran pembeli sebagai advokat tergapai, maka keberlangsungan dan kelanggengan usaha akan terjamin.  Tanpa profesionalisme upaya mempertahankan pembeli apalagi menjadi pelanggan, loyal dan menjadi pembela tidak akan bisa terwujud.  Profesional dalam menghasilkan produk dan profesional dalam meberikan pelayanan.  Wirausahawan yang profesional akan selalu berfikir untuk mengerjakan apa yang rencanakan, apa yang telah dijanjikan, tetapi tidak asal mengerjakan.  Dikerjakan dan selesai, namun tidak asal selesai. Selesai dengan hasil yang baik dan berstandar tinggi. 

Profesionalitas di atas hanya bisa dicapai dan berkelanjutan manakala setiap proses pekerjaan, dikerjakan secara teliti, dikerjakan oleh orang yang memahami secara menyeluruh dan dilakukan pengawasan serta kontrol yang baik.  Disinilah nantinya ketrampilan teknis sangat diperlukan.  Ketrampilan teknis sesuai bidang usaha kita, termasuk ketrampilan teknis manajemen operasi, pemasaran, tekni mengelola keuangan usaha maupun sumberdaya manusia

Dengan modal kepribadian, kreatifitas dan profesionalisme yang baik, kita akan memiliki berbagai macam keunggulan, otentisitas, ke-khas-an dan keunggulan lainnya dalam kita memproduksi dan mengelola usaha kita, dengan demikian akan memudahkan kita dalam menggapai cita-cita yang telah kita canangkan dan kita rencanakan.

Keunggulan yang kita miliki akhirnya akan mengundang berbagai sumberdaya yang kita perlukan dan tidak kita miliki.  Mereka akan dengan senang menjalin hubungan dengan kita, menjadikan kita sebagai anggota jaringannya. Uang, bahan baku , SDM hingga perijinan akan datang menawarkan diri dengan segala kemudahannya.

Selamat berwirausaha.

Waktu yang tepat untuk memulai usaha

Sutie Rahyono - Praktisi dan Trainer Kewirausahaan


Hampir disetiap diri kita mempunyai keinginan untuk memiliki suatu usaha sendiri. Baik yang belum memiliki pekerjaan, maupun yang sudah memiliki pekerjaan, apalagi yang sedang terkena pemutusan hubungan kerja alias PHK. Tidak sedikit pula para pensiunan masih ingin memiliki usaha, dengan beberapa alasan,  karena masih ingin mempertahankan kesejahteraannya, menggapai keinginan/cita-cita yang belum tergapai, mencukupi kebutuhan/kewajiban yang masih menjadi tanggungan, atau hanya sekedar mengisi waktu, mencari kegiatan agar tidak cepat pikun.

“Keinginan” memiliki usaha biasanya gampang sekali muncul, namun kalau baru sekedar keinginan, biasanya masih jauh dari realisasi untuk terwujud.  Banyak alasan  diajukan, Alasan paling klasik adalah tidak punya modal, belum ada waktu, belum menemukan peluang usaha yang pas, tidak memiliki ketrampilan, takut rugi, banyak saingan.

Lalu kapan waktu yang tepat untuk memulai suatu usaha? Apakah saat masih sekolah/kuliah, setelah lulus. saat kita meniti karir di tempat kerja atau setelah keluar dari pekerjaan baik mengundurkan diri, di-PHK bahkan menunggu sampai saat pensiun tiba?.

Sebelum menentukan kapan memulai usaha, perlu kita renungkan kembali untuk apa uang yang kita harapkan dari usaha itu? Pertanyaan ini perlu dijawab terlebih dahulu, agar saat memulai suatu usaha bisa secepatnya ditentukan.

Fungsi uang ?
Banyak orang ingin memiliki uang tetapi tidak jelas untuk apa, sehingga uang yang dimilikinya akhirnya dipergunakan hanya untuk memenuhi keinginan, bukan untuk memenuhi kebutuhannya, pola pikir tentang fungsi uang ini akan sangat menentukan dalam memanfaatkannya.
Bagi orang yang  berfikir  “ingin memiliki” uang, biasanya keberhasilan mengumpulkan uang akan diwujudkan dalam symbol-simbol kekayaan dan dalam bentuk mater-materi  kemewahan, seperti  mobil dan rumah mewah, serta gaya hidup.  Menurut hasil penelitian selama 20 tahun terhadap orang-orang kaya di Amerika yang  dituangkan dalam buku The Millionaire Next Door oleh penelitinya Thomas J Stanley dan William D. Danko,  dijelaskan orang orang seperti ini rentan bangkrut dan merana hidupnya di hari tua mereka. 

Berbeda bagi orang yang berfikir “ingin menjadi” kaya, mereka ini sangat berhati-hati dalam memanfaatkan uang yang diperolehnya, uang yang dimilikinya hanya akan dipergunakan untuk memenuhi sesuatu yang benar-benar menjadi kebutuhannya bukan keinginannya, bukan diwujudkan dalam symbol-simbol kemewahaan. Gaya hidupnya relatif tidak berubah walaupun penghasilan atau uang yang dimilikiya bertambah, karena mereka akan menikmatinya dihari tua dikala kesehatan dan kemampuannya menurun.    

Akhirnya setelah pikiran kita tentang uang telah kita tata kembali,  ternyata uang yang kita miliki,  akan kita pergunakan untuk membiayai kesejahteraan yang kita rencanakan, kesejahteraan yang kita cita-citakan. untuk itu cita-cita kesejahteraan harus disusun terlebih dahulu dan se-awal mungkin,

Membangun cita-cita
Tidak sedikit diantara kita yang menganggap cita-cita  sama dengan keinginan, akan lebih baik jika keinginan yang kita miliki, kita terjemahkan dulu menjadi “kebutuhan”, kebutuhan yang benar-benar kita perlukan. Misalnya kebutuhan  makan dan sandang yang layak, pendidikan anak, pemilikan rumah, kendaraan dan masa pensiun yang tidak menjadi beban orang lain.
Langkah berikutnya, kebutuhan-kebutuhan tersebut di atas, kita hitung nominal rupiahnya saat ini. Berapa rupiah biaya hidup layak dalam satu bulan, berapa cadangan darurat yang perlu dipersiapkan untuk hidup 3 bulan atau 6 bulan jika PHK atau jika usaha berhenti, berapa biaya pendidikan anak dari SD hingga kuliah, berapa uang muka rumah hingga kendaraan yang diinginkan. Selanjutnya kita canangkan kapan kebutuhan-kebutuhan tersebut harus tersedia. 
Dengan mempertimbangkan nilai inflasi, kebutuhan-kebutuhan di atas akan berkembang menjadi berapa pada saat kita perlukan nanti? dan inilah kebutuhan kita, yang harus kita jadikan sebagai cita-cita. 
Setelah kita bisa menghitung nilai rupiah total kebutuhan kesejahteraan kita, lalu kita harus menabung berapa setaiap hari atau setiap bulannya agar kebutuhan tersebut tersedia saat dibutuhkan, seperti ilustrasi berikut ini.

 Kesejahteraan yang direncanakan / cita-cita
Nilai  saat ini
Jangka Waktu diperlukan (tahun)
Nilai   masa depan        inflasi 6%
Tabungan per hari
  Dana darurat
3.000.000
2
3.370.800
4.682
  Kelahiran anak
5.000.000
2
5.618.000
7.803
  Pendidikan kuliah
27.000.000
16
68.589.495
11.908
  Sepeda Motor
15.000.000
3
17.865.240
16.542
  Uang muka rumah
30.000.000
5
40.146.767
22.304
  Tabungan haji
35.000.000
10
62.679.669
17.411
  Pembelian mobil
150.000.000
15
359.483.729
66.571
  Dana pensiun
150.000.000
28
766.753.005
76.067
 . . . . . . . . . . . . .
 
223.287




















Mungkin kita tercengang dengan jumlah yang dibutuhkan dengan kemampuan saat ini, mungkin akan terjadi pemikiran, “masak harus menabung Rp223.287,- perhari atau 6,6 juta sebulan” sedangkan penghasilan bulanan tidak sampai jumlah tersebut, masak semua ditabung, masak tidak harus makan. 

Utnuk mencukupi kebutuhan tersebut di atas. jangan sekali-kali berfikir, usaha apa yang bisa menghasilkan 6,6 juta sebulan, terlalu sulit.  Lebih baik berfikir dengan berapa cara kebutuhan tabungan diatas bisa diperoleh.  Untuk tabungan pendidikan yang Rp. 11.908,- mungkin bisa kita peroleh dari hasil penghematan yang selama ini dirasa boros.  Atau mungkin bisa berjualan apa saja, untuk yang lain kita cari cara lain untuk memperolehnya.  Sedikit demi sedikit kita kumpulkan dengan cara menabung.

Kebutuhan menabung yang kecil, bisa dimulai dengan usaha yang kecil. Usaha yang kecil akan hanya memerlukan modal kecil dan memiliki resiko usaha yang kecil pula.  Oleh sebab itu waktu yang tepat untuk memulai usaha adalah saat ini, sesaat setelah rencana kebutuhan kesejahterraan direncakan, sedini mungkin. Sekarang atau tidak sama sekali.