selamat datang

Ya TUHAN, Penguasa seluruh alam, Yang Maha Perkasa, Maha Kaya, Maha Bijaksana, Maha Adil, dan segala MAHA hanya milikMU, ampunkan diri kami yang sering berlaku sombong, yang sok pinter, sok tahu, sok berpengalaman dan sok-sok-an lainnya. Dengan Maha Kasih dan Maha SayangMU, kami mohon petunjuk, mohon bimbingan, dalam menjalankan tugas untuk ikut memakmurkan bumi ini, lindungilah kami dari segala godaan yang menyesatkan, hingga sering menjauh dari tugas mulia yang telah ENGKAU perintahkan. Berilah kekuatan untuk melawan kezaliman hati kami. Jauhkanlah kami dari rasa takut menderita, takut kekurangan, dan ketakutan lain yang membuat diantara kami saling membiarkan, saling menelantarkan, dan hanya mementingkan diri kami sendiri. Dengan IzinMu, kami berkumpul, bersilaturahmi di wahana ini, untuk saling mengingatkan, saling berbagi, saling membimbing diantara kami. Hindarkanlah kami dari kegemaran saling mengolok-olok, tuntunlah kami dalam kesantunan, dan kerendahan hati. Hindarkanlah diantara kami dari rasa paling benar, karena memang hanya kebenaranMu-lah yang paling hakiki.

Jumat, 25 Februari 2011

Penderitaan di kapal oleng

Siapa yang tak kenal Abunawas.  Seorang sufi, cendekiawan, penyair ulung dan humoris, dan terkadang konyol.  Dia lahir di Azhwa, sebuah desa di Kazakhstan, sebelah barat persia dan meninggal di bagdad tahun 814 M.  Semasa hidupnya merantau untuk belajar berbagai macam ilmu, dan akhirnya menjadi penasehat kerajaan di kesultanan yang dipimpin Harun Ar Rasyid.

Salah satu cerita yang bisa kita simak adalah saat Abu Nawas harus mendampingi sang Sultan yang mengunjungi daerah-daerah yang dipimpinnya.  Pendek kata di dalam perjalanannya sang sultan beserta rombongannya harus menyeberang sungai yang sedang banjir.

Air deras dan gelombang yang ditimbulkannya menggoyang perahu yang digunakan oleh sang Sultan, sehingga jalannya oleng.  Karena ketakutan sang Sultan memegang tangan Abunawas sambil berteriak-teriak minta tolong kepada Abunawas. “Engkau kan cerdik dan panjang akal hai Abu Nawas, cepat tolong aku dan cari akal agar aku tidak takut, aku tidak bisa berenang” teriakan terus menerus membuat Abu Nawas merasa iba.

“Saya bisa menolong ketakutan paduka, tapi saya rasa cara saya ini tidak disenangi paduka” kata Abu Nawas ragu-ragu.  “kerjakan saja, yang penting aku tidak ketakutan lagi”  teriak sang Sultan.  “Cepat Abu Nawas, kerjakan, ini perintahku” teriak sang sultan bertambah keras.  Akhirnya Abu Nawas Mendorong tubuh sang Sultan hingga tercebur ke sungai.  Tentu saja sang Sultan yang tidak bisa berenang panik, timbul tenggelam di sungai yang deras aliran airnya.

Abu Nawas dengan tenang melemparkan tali ke sang Sultan, “tangkap tali ini Sultan” teriak Abu Nawas. Setelah Sultan berhasil menangkap talinya, Abu Nawas menarik talinya dan mengangkat sang Sultan naik ke perahu lagi.


“Kenapa engkau mendorongku hingga aku jatuh masuk kedalam sungai? Teriak sang Sultan dengan kemarahan yang memuncak .  Lagi-lagi dengan tenang Abu Nawas menjawab” saya mematuhi dan menjalankan perintah paduka yang mulia”, “Perintah yang mana hai Abu Nawas? hardik Sang Sultan.  “Perintah untuk menolong baginda dari rasa takut baginda di perahu yang oleng ini baginda” jawab Abu Nawas.  “Lalu kenapa dengan cara mendorong dan menceburkanku ke sungai” jawab Sultan masih dengan nada marah.  “Sekarang bisa paduka rasakan, lebih takut ketika berada di dalam  sungai tadi atau lebih takut di perahu oleng ini? Tanya Abu Nawas dengan nada datar.  “Lebih nyaman di perahu oleng ini Abu Nawas” jawab sang Sultan sambil menunduk, seraya melanjutkan kalimatnya “Benar kau Abu Nawas, kita sering merasa paling menderita kalau sedang mendapat cobaan, walaupun cobaan itu baru kecil saja, kita sering lupa ada cobaan lain yang lebih besar, yang menimpa saudara-saudara kita.


Diadabtasi dari cerita Abu Nawas

Tidak ada komentar:

Posting Komentar